Setelah pemilihan presiden dan wakil presiden usai, situasi politik di Tanah Air kembali memanas. Salah satu isu yang mencuat adalah desakan sejumlah purnawirawan TNI/Polri untuk mencopot Gibran Rakabuming Raka dari jabatannya sebagai Wakil Presiden terpilih. Alasan utamanya terkait dugaan pelanggaran etika dan prinsip netralitas dalam proses pencalonan. Namun, wacana ini langsung memantik reaksi keras dari berbagai pihak yang menilai bahwa semua upaya harus tetap melalui jalur konstitusi.


Desakan Purnawirawan: Kritik dan Gugatan Moral

Sejumlah purnawirawan secara terbuka menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap proses pencalonan Gibran yang dinilai tidak mencerminkan prinsip keadilan dan etika demokrasi. Mereka menganggap bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi yang membuka jalan bagi Gibran untuk maju merupakan bentuk penyimpangan kekuasaan.

Namun demikian, desakan untuk mencopot Gibran dari posisinya sebagai wakil presiden terpilih jelas tidak bisa dilakukan sembarangan. Sebab, konstitusi Indonesia mengatur secara ketat mekanisme pemberhentian presiden dan wakil presiden melalui jalur hukum yang sah.


Tantangan Jalur Konstitusi: Suara dari Pakar dan Politikus

Menanggapi desakan tersebut, sejumlah pakar hukum tata negara dan politisi menegaskan bahwa semua pihak, termasuk purnawirawan, harus menempuh jalur konstitusi bila ingin menggugat keabsahan posisi Gibran. Langkah-langkah seperti impeachment atau pemberhentian jabatan tidak bisa dilakukan secara sepihak, apalagi hanya berdasarkan opini atau tekanan massa.

Mekanisme yang sah untuk memberhentikan wakil presiden tertuang dalam UUD 1945, yakni melalui pengajuan DPR ke Mahkamah Konstitusi atas dugaan pelanggaran hukum berat seperti korupsi, pengkhianatan terhadap negara, atau perbuatan tercela lainnya. Itu pun harus disertai bukti kuat dan melewati proses panjang yang tidak bisa diintervensi oleh kekuatan politik atau militer.


Realitas Politik: Gibran dan Kekuatan Elektoral

Tidak bisa dipungkiri, Gibran Rakabuming Raka memenangkan kursi wakil presiden melalui pemilu yang sah dan diakui oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Meskipun ada kontroversi soal etika dan nepotisme, hasil pemilu tetap menjadi dasar legalitas kekuasaan dalam sistem demokrasi.

Selain itu, mayoritas masyarakat masih mendukung hasil pemilu, sebagaimana tercermin dari minimnya aksi protes besar. Ini menunjukkan bahwa upaya untuk mencopot Gibran tanpa dukungan publik yang signifikan sangat sulit direalisasikan. Oleh karena itu, jika benar ingin memperjuangkan nilai demokrasi, jalur konstitusional tetap harus dikedepankan.


Kesimpulan: Demokrasi dan Hukum Harus Jadi Panglima

Pada akhirnya, tantangan terhadap posisi Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden harus dijawab melalui mekanisme hukum yang sah. Desakan dari purnawirawan memang mencerminkan kegelisahan sebagian kelompok terhadap praktik politik dinasti, namun langkah yang diambil tetap harus tunduk pada konstitusi.

Dalam negara hukum, penyelesaian sengketa kekuasaan tidak bisa diselesaikan dengan opini, tekanan publik, apalagi kekuatan non-konstitusional. Demokrasi yang sehat hanya bisa terwujud jika semua pihak patuh pada aturan main, bukan sekadar kepentingan politik sesaat.

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *