Indonesia di Urutan Buncit: Kenyataan Pahit Perdagangan Internasional
Baru-baru ini, Indonesia menempati posisi ke-122 dari 122 negara dalam laporan hambatan ekspor dan impor. Peringkat ini menandakan bahwa Indonesia menghadapi tantangan besar dalam kelancaran arus barang ke dan dari luar negeri. Data ini datang dari laporan Global Trade Barriers Index, yang mengukur berbagai hambatan dalam perdagangan internasional, termasuk regulasi, biaya logistik, dan efisiensi bea cukai.
Mengapa Indonesia Bisa Terpuruk?
Beberapa faktor utama menyebabkan Indonesia terpuruk di posisi paling bawah. Pertama, proses administrasi ekspor-impor yang masih kompleks dan berbelit. Banyak pelaku usaha, terutama UMKM, mengeluhkan panjangnya rantai birokrasi. Hal ini menyebabkan keterlambatan dan biaya tambahan yang signifikan.
Selain itu, biaya logistik di Indonesia tergolong tinggi jika dibandingkan dengan negara tetangga. Infrastruktur yang belum merata, terutama di wilayah timur Indonesia, memperparah kondisi ini. Belum lagi, regulasi yang sering berubah tanpa sosialisasi yang memadai membuat pengusaha kebingungan dalam menyesuaikan operasional mereka.
Dampak Langsung pada Pelaku Usaha dan Ekonomi
Ketika hambatan ekspor dan impor terlalu tinggi, pelaku usaha dalam negeri kesulitan untuk bersaing di pasar global. Mereka tidak hanya kehilangan peluang ekspor, tetapi juga harus membayar mahal untuk bahan baku impor. Akibatnya, biaya produksi meningkat dan daya saing produk Indonesia menurun.
Lebih jauh, kondisi ini bisa berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi nasional. Ketika perdagangan terganggu, investasi asing pun enggan masuk karena melihat risiko operasional yang tinggi. Akhirnya, lapangan kerja dan pendapatan negara dari sektor perdagangan bisa terancam.
Peluang Perbaikan: Masih Ada Harapan
Meskipun peringkat ini terdengar buruk, Indonesia masih memiliki peluang besar untuk bangkit. Pemerintah bisa mulai dengan menyederhanakan regulasi ekspor-impor dan memanfaatkan teknologi digital untuk proses kepabeanan. Sistem seperti National Logistics Ecosystem (NLE) yang sudah mulai diterapkan perlu dioptimalkan dan diperluas.
Selain itu, investasi besar-besaran dalam pembangunan infrastruktur, khususnya pelabuhan dan jalan distribusi, sangat diperlukan. Kemudahan akses dan efisiensi logistik akan mengurangi biaya dan waktu dalam proses pengiriman barang.
Tidak kalah penting, pelatihan dan pendampingan bagi UMKM agar siap masuk pasar global perlu ditingkatkan. Dengan dukungan kebijakan yang tepat, mereka bisa menjadi motor penggerak ekspor non-migas Indonesia.
Kesimpulan: Perlu Aksi Nyata, Bukan Sekadar Data
Peringkat ke-122 bukan sekadar angka, melainkan cerminan masalah mendasar dalam sistem perdagangan Indonesia. Namun, jika pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat saling bersinergi, perubahan besar bisa terjadi. Melalui regulasi yang lebih ramah bisnis, infrastruktur yang mendukung, dan ekosistem digital yang efisien, Indonesia bisa memperbaiki posisinya dan menjadi pemain utama dalam perdagangan global.