Artikel Berita: Sengketa Lahan ‘Warisan Gaib’ di Lereng Merapi: Antara Mimpi, Mitos, dan Modernisasi

Sleman, Yogyakarta – Di lereng Gunung Merapi yang subur, sebuah sengketa lahan yang tak lazim tengah memanas. Bukan hanya melibatkan dokumen kepemilikan dan gugatan hukum, namun juga klaim atas ‘warisan gaib’ dari leluhur yang dipercaya memiliki perjanjian spiritual dengan penguasa gunung. Konflik ini mempertemukan antara tradisi, kepercayaan mistis, dan tuntutan modernisasi yang semakin mendesak.

Sengketa ini berpusat di Desa Umbulharjo, sebuah desa yang terletak di kaki Merapi, yang sebagian besar penduduknya menggantungkan hidup pada pertanian dan pariwisata. Lahan yang dipersengketakan seluas kurang lebih 20 hektar, yang diklaim oleh dua pihak: Keluarga Somo, yang mengaku sebagai pewaris sah berdasarkan hukum adat dan wasiat leluhur, dan PT Merapi Indah, sebuah perusahaan properti yang berencana membangun kompleks villa dan resort mewah.

Klaim ‘Warisan Gaib’ dan Perjanjian Spiritual

Keluarga Somo, yang diwakili oleh sesepuh desa, Mbah Kardi (78), mengklaim bahwa lahan tersebut adalah ‘tanah titipan’ dari leluhur mereka, Mbah Reso, seorang tokoh spiritual yang dihormati di desa tersebut. Menurut cerita yang diturunkan dari generasi ke generasi, Mbah Reso memiliki perjanjian spiritual dengan penguasa Merapi, yang memberinya hak untuk mengelola lahan tersebut demi kesejahteraan masyarakat desa.

"Tanah ini bukan sekadar tanah. Ini adalah amanah dari leluhur kami, titipan dari penguasa Merapi. Kami tidak bisa sembarangan menjualnya atau mengubahnya menjadi bangunan-bangunan mewah," ujar Mbah Kardi dengan nada khidmat.

Klaim ini tentu saja sulit dibuktikan secara hukum. Namun, bagi masyarakat Umbulharjo, kepercayaan terhadap warisan gaib ini sangat kuat. Mereka meyakini bahwa melanggar amanah leluhur akan mendatangkan bencana bagi desa mereka.

PT Merapi Indah: Investasi dan Modernisasi

Di sisi lain, PT Merapi Indah berpendapat bahwa mereka telah membeli lahan tersebut secara sah dari beberapa pemilik yang memiliki sertifikat hak milik (SHM). Perusahaan ini berdalih bahwa investasi mereka akan membawa manfaat bagi masyarakat desa, seperti lapangan kerja, peningkatan infrastruktur, dan pendapatan daerah.

"Kami memahami adanya kearifan lokal dan kepercayaan masyarakat. Namun, kami juga memiliki hak hukum atas lahan ini. Kami ingin berdialog dengan masyarakat untuk mencari solusi yang saling menguntungkan," kata Direktur Utama PT Merapi Indah, Rina Wijaya, dalam konferensi pers beberapa waktu lalu.

Rina juga menambahkan bahwa perusahaan mereka siap memberikan kompensasi yang layak bagi masyarakat yang terdampak oleh proyek pembangunan tersebut. Namun, tawaran ini ditolak mentah-mentah oleh Keluarga Somo dan sebagian besar warga Umbulharjo.

Mediasi yang Buntu dan Potensi Konflik Horizontal

Pemerintah daerah setempat telah berupaya memediasi kedua belah pihak. Namun, mediasi tersebut selalu menemui jalan buntu. Keluarga Somo bersikukuh mempertahankan tanah leluhur mereka, sementara PT Merapi Indah tetap berpegang pada hak hukum yang mereka miliki.

"Kami sudah beberapa kali bertemu dengan kedua belah pihak. Kami berharap ada solusi yang win-win. Namun, memang sulit karena ada perbedaan pandangan yang mendasar," kata Kepala Desa Umbulharjo, Sukardi.

Situasi ini memicu ketegangan di masyarakat. Sebagian warga mendukung Keluarga Somo dan menolak pembangunan resort mewah. Sementara sebagian lainnya, terutama generasi muda, melihat investasi ini sebagai peluang untuk meningkatkan perekonomian desa.

"Saya mengerti kekhawatiran orang tua kami tentang warisan leluhur. Tapi, kita juga tidak bisa menutup mata terhadap peluang yang ada. Kalau ada investasi, kan bisa membuka lapangan kerja untuk anak-anak muda di sini," ujar Arif, seorang warga Umbulharjo yang mendukung pembangunan resort.

Peran Budaya dan Kearifan Lokal

Sengketa lahan ini bukan hanya soal hukum dan ekonomi, tetapi juga soal budaya dan kearifan lokal. Masyarakat Umbulharjo memiliki tradisi yang kuat dalam menjaga hubungan harmonis dengan alam dan leluhur mereka. Mereka meyakini bahwa tanah bukan sekadar komoditas, tetapi juga memiliki nilai spiritual dan sosial yang tinggi.

"Kita harus menghargai kearifan lokal masyarakat. Jangan sampai pembangunan hanya menguntungkan segelintir orang, tapi merusak tatanan sosial dan budaya yang sudah ada," kata Dr. Ratna, seorang antropolog dari Universitas Gadjah Mada yang meneliti konflik agraria di Yogyakarta.

Dr. Ratna juga menekankan pentingnya dialog yang inklusif dan partisipatif dalam menyelesaikan sengketa lahan ini. Pemerintah daerah harus melibatkan semua pihak yang berkepentingan, termasuk tokoh adat, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil.

Ancaman Bagi Lingkungan dan Pariwisata Berkelanjutan

Selain aspek sosial dan budaya, sengketa lahan ini juga berpotensi mengancam lingkungan dan pariwisata berkelanjutan di Umbulharjo. Pembangunan resort mewah di lereng Merapi dapat merusak ekosistem yang rapuh, seperti sumber air dan lahan pertanian.

"Kami khawatir pembangunan ini akan merusak lingkungan. Air bersih akan berkurang, lahan pertanian akan hilang, dan keindahan alam akan tercemar," kata Bambang, seorang aktivis lingkungan dari WALHI Yogyakarta.

Bambang juga menambahkan bahwa pembangunan resort mewah tidak sejalan dengan konsep pariwisata berkelanjutan yang sedang dikembangkan di Umbulharjo. Pariwisata berkelanjutan lebih menekankan pada pelestarian alam dan budaya, serta pemberdayaan masyarakat lokal.

Harapan dan Tantangan di Masa Depan

Sengketa lahan di Umbulharjo adalah contoh nyata dari konflik agraria yang kompleks dan multidimensional. Konflik ini melibatkan berbagai kepentingan, nilai, dan keyakinan yang berbeda. Menyelesaikan konflik ini membutuhkan pendekatan yang holistik dan berkelanjutan, yang menghormati hak hukum, kearifan lokal, dan kelestarian lingkungan.

Masyarakat Umbulharjo berharap pemerintah daerah dapat bertindak adil dan bijaksana dalam menyelesaikan sengketa ini. Mereka juga berharap PT Merapi Indah dapat mempertimbangkan kembali rencana pembangunan mereka dan mencari solusi yang lebih ramah lingkungan dan sosial.

"Kami tidak ingin menghalangi pembangunan. Tapi, kami juga tidak ingin kehilangan warisan leluhur kami. Kami ingin hidup berdampingan secara harmonis dengan alam dan modernitas," pungkas Mbah Kardi dengan tatapan penuh harap.

Sengketa lahan di Umbulharjo menjadi cermin bagi konflik agraria lainnya di Indonesia, di mana tradisi dan modernitas seringkali berbenturan. Bagaimana pemerintah dan masyarakat dapat menyeimbangkan antara pembangunan ekonomi, pelestarian lingkungan, dan penghormatan terhadap kearifan lokal adalah tantangan besar yang harus dihadapi bersama. Masa depan Umbulharjo, dan mungkin juga masa depan banyak desa lainnya di Indonesia, bergantung pada kemampuan kita untuk menemukan solusi yang adil dan berkelanjutan.

Artikel Berita: Sengketa Lahan 'Warisan Gaib' di Lereng Merapi: Antara Mimpi, Mitos, dan Modernisasi

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *